Sunday, May 6, 2012

Ulang Bulan 8

I still remember the days when you were still red. A gorgeous tiny baby. Love, how time has gone so fast. All those time I watched you grow beautifully into a smart, fun, and blessed little lady. Love, you should know, that your presence is so powerfully healing. You are our shortest immediate vacation. You bring big smile to everyone's face. You also evoke a warm tingling feeling in our heart. Thank you Love. I wish you a peaceful and joyous life. Amin

Monday, April 9, 2012

Bubur Tumpang Boyolali

Sudah dua minggu lalu saya ingin posting soal makanan ini, tapi baru hari ini ada kesempatan untuk nulis. So, here's the story! Dua minggu lalu saya dan keluarga kecil saya pergi ke rumah mertua, untuk monthly visit. Seperti kebiasaan selama ini, kami bertiga menyempatkan diri untuk mengunjungi tempat makan favorit. Tempatnya sederhana, sepetak lahan kosong yang diberi terpal untuk menutupi dari terik matahari, dan beberapa tempat duduk bambu bagi pelanggannya. Kadang ada beberapa ekor ayam berkeliaran, menyemarakkan suasana. Gadis kecil sayapun seringkali melonjak girang karenanya. Tempat ini hanya buka di pagi hari, dan jualan berakhir sebelum hari mulai siang. Pasti penasaran kan, itu lapak apa?? Ayo tebak, lapak apa yang buka pagi-pagi, menjual menu sarapan, dan berbangunan sederhana?! Adakah yang menebak lapak bubur? Yaaa!! Tempat itu adalah lapak mbok-mbok jualan bubur. 

 Lapak itu sederhana, menjual makanan sederhana, namun dapat memberi kebahagiaan. Kebahagiaan sederhana. Kenapa begitu? Pertama, karena memang cita rasanya yang simply enak. Kedua, karena (ini nih, yang ibu-ibu sukai) simply murah. hahaha jadi, berat di lidah, ringan di dompet. Setiap habis bersantap di situ rasanya bersyukur atas kebahagiaan sederhana itu. 

Isi buburnya ada sambel tumpang (khas Boyolali), mie goreng, dan serundeng. Biasanya ada gorengan untuk melengkapi sajian bubur itu. Bubur disajikan dalam pincuk, lumayan buat mboknya, jadi ga usah wira-wiri cuci piring. Kami biasa pesan dua bubur, dan gorengan 5 biji. Semuanya berapa bu? Tujuh ribu nduk. Dan saya pun menangis bahagia. Syukur untuk ibu penjual bubur yang mampu membangkitkan kebahagiaan sederhana dalam diri saya.

Ini dia bentuk buburnya


Karena bahagia itu sederhana. Begitu.

Friday, April 6, 2012

Berpotong Rindu

Ceritakan padaku tentang malam. Kala rinai air basahi tubuh kita. Basuh jiwa kita. 
Ceritakan padaku tentang malam. Dingin menusuk pori. Getarkan dada yang sepi.  
Ceritakan padaku tentang malam. Air yang mengkondens jadi embu. Siap jatuh dipeluk tanah. 
Ceritakan padaku tentang malam. 
Tentang rinai, dingin, dan embun. 
Tentang cerita berpotong rindu.

------

untuk rindu yang merindu

Monday, March 19, 2012

Listen, Love

Kemarin hari saya menemukan wajah mama saya cemberut ga enak saat tiba di rumah setelah pergi dengan adik laki-laki saya. Intuisi saya mengatakan ada sesuatu yang salah, mungkin ada kejadian yang membuat mama tidak berkenan. Ternyata benar. Begitu keluar dari mobil, mama langsung mengomel pada bapak saya sambil meneteskan air mata. "Bukan kejadiannya mas, tapi ke ga didengarnya itu sing aku ke Lara-Lara". Begitu kira-kira omelan mama saya begitu menginjakkan kakinya di pekarangan. Adik saya nyerempet buk jembatan. Tak lama setelah itu saya pulang ke paviliun kecil saya untuk menghindar dari suasana tidak mengenakkan itu. Namun toh adik saya tetap saja memanggil saya untuk 'rapat' keluarga. Dalam rapat kecil-kecilan itu mama mengutarakan apa yang menjadi uneg2nya. Beliau mengatakan bahwa ada empat hal yang adik saya tidak mau lakukan. Sebenarnya kesemuanya itu adalah hal sepele, namun entah mengapa mama menganggapnya sebagai sesuatu yang besar. Mungkin karena beliau merasa tidak didengarkan oleh adik saya. 

Jadi, waktu itu mereka pergi ke Bantul, ke rumah eyang. Adik saya berinisiatif untuk mengantar mama ke sana. Namun mama sebenarnya menolak diantar dengan alasan takut adik saya masih ngantuk, dan alasan kedua, adik saya masih dalam masa ujian sekolah. That's one thing. Kemudian sesampainya di sana mama minta pada adik untuk memarkir mobilnya di seberang jalan aja, karena jalan masuk ke rumah eyang sangat sempit. Namun adik saya memaksa untuk parkir di dekat rumah eyang. Ada dua hal lagi yang adik lakukan dan membuat mama tidak berkenan, tapi saya udah lupa. Jadi biarlah dua hal itu menjadi misteri. Karena intinya toh bukan di situ. Nah, yang membuat saya berpikir adalah saat rapat itu, hanya mama saja yang mengungkapkan pikirannya. Adik saya sama sekali tidak diminta untuk memberi penjelasan atas tindakannya. Padahal jika adik saya bisa menjelaskan perilakunya, mungkin kesedihan mama tidak akan separah itu. Merasa tidak dituruti, tidak didengarkan. Itulah keluh kesah mama saya. Namun, jika kita mundur sejenak dan mengambil perspektif adik bisa saja ternyata maksudnya baik. Dalam pikiran saya, adik saya bersikeras mengantar mama pergi karena tidak tega membiarkan mamanya nyetir sendiri ke Bantul yang jauh walaupun beliau sudah sering melakukannya. Lalu saya kembali mencari alternatif alasan tentang kejadian yang kedua. Mungkinkah adik saya tidak ingin membuat mama jalan jauh membawa banyak barang dari rumah eyang sehingga Ia memutuskan untuk parkir mobil di dekat rumah saja. Jika kita melihat dari asumsi itu, maka sebenarnya perilaku yang dicap negatif dan dipersepsikan sebagai bentuk pembangkangan ternyata adalah bentuk cinta adik pada mama. Di sinilah letak pelajaran yang saya ambil. Bahwa jika kita mau berhenti sebentar dalam amarah dan kesedihan yang kita rasakan dan memberi orang lain kesempatan untuk menjelaskan dirinya, maka sebenarnya apa yang kita rasakan itu tidaklah perlu. 

Seringkali saya mengalami kesedihan atau rasa marah yang penyebabnya adalah saya bermain dengan persepsi saya sendiri. Dan pemecahannya adalah dengan cross check langsung. Sesederhana itu. Namun seringkali pula saya tidak melakukannya. Hehehe.. Baru saja terlintas dalam pikiran, bahwa begitu banyak kejadian yang berlalu begitu saja dalam kesalahpahaman. Kesalahanpahaman yang dikarenakan oleh ketidaksudian kita memberi kesempatan orang lain berbicara. Ketidakmauan kita mendengar dan malah asyik dalam fantasi kita sendiri. Hal ini sering sekali terjadi pada saya, seperti yang sudah disinggung di atas. saya jadi merasa mendapat cermin untuk berkaca. bahwa dalam mendidik anak, saya ingin memberi dia kesempatan yang banyak untuknya menjelaskan diri. Bahwa dalam berinteraksi dengan suami pun juga demikian. Dengan orang-orang terdekat lainnya. Dengan orang-orang lain yang ada di sekitar kita. Itu perlu. Karena kita tidak akan pernah tahu motivasi orang jika kita tidak bertanya. Kita tidak akan tahu cinta yang mereka utarakan lewat tindakan yang dalam persepsi kita justru sebaliknya. Maka dari itu.. Listen, Love. Coz you might just find Love. :)

Thursday, March 15, 2012

Welcome Home!

Sudah beberapa waktu ini saya bergabung dengan sebuah kelompok yang ingin belajar tentang, dan menjadi sufi. Suatu kelompok yang mengupas makna dibalik ritual, membuat kita merenungi tentang kehidupan, Tuhan, dan agama. Kelompok ini berisikan orang-orang yang lucu, beberapa dari mereka senang berdiskusi, beberapa lainnya senang bercanda, dan beberapa lainnya hanya menyimak dalam diam sambil kebingungan. The latter would be me. Guru kami adalah seorang laki-laki asal Solo, seseorang yang kesannya 'urakan' namun ada sesuatu padanya. Beliau selalu menebarkan senyum lebarnya, senyum yang membuat orang menunduk malu dan enggan, bahkan saat hanya melihatnya di foto. 

Kemarin lusa ada exercise kecil yang membuat geger kelompok virtual itu. Kami diminta untuk mengenali diri dengan bercermin. Ada beberapa media yang dapat kita gunakan untuk bercermin: kaca cermin, air yang jernih tenang, dan pupil mata lawan bicara kita. Sebagian besar anggota kelompok kemudian sibuk menjajal eksperimen ini. Beberapa menemukan dirinya pada pantulan cermin. Benar-benar bertemu dengan 'seseorang' saat proses bercermin berlangsung. Ada juga yang hanya berputar-putar dalam pertanyaan demi pertanyaan. Pertanyaan universal: apakah yang kita cari? Beberapa orang lainnya hanya diam tidak berbagi tentang pengalamannya. Termasuk saya.

Saya memulai untuk bercermin dengan perasaan uneasy, antara bingung dengan apa yang dicari dan takut dengan apa yang kiranya akan saya temukan. Kemudian saya melihat saja pada cermin dengan hati dan pikiran kosong. Hanya mencoba menikmati proses ini dan membiarkan apa saja yang akan terjadi. Pertama saya melihat ke dalam pupil saya. Nothing there. Kemudian saya mengalihkan pandangan saya pada wajah saya. Saat itu saya melihat: wajah saya. Saya amati terus hingga akhirnya entah kenapa ada dorongan untuk tersenyum. Saya tersenyum pada diri saya sendiri. Sesaat setelah itu saya merasakan dorongan lain yaitu dorongan untuk memejamkan mata. Pada awalnya saya menolak untuk memejamkan mata, karena perintahnya adalah lihatlah ke dalam cermin. Kalo merem, mana bisa lihat ke dalam cermin? Begitu pikir saya berucap. Tapi kemudian pikiran lain muncul dan mengatakan apa salahnya mencoba, siapa tahu aku menemukan sesuatu. Lalu saya memejamkan kedua mata saya. Saat itu juga saya melihat dalam dada saya terdapat ruang yang berawan (atau berasap) putih dan lambat laun muncul asap berwarna pink jernih. Rasanya damai sekali di sana, seperti menemukan rumah yang lama hilang. Senyum saya semakin lebar. Pada waktu terbuai dalam rasa damai itu, saya merasa ada seseorang yang mengafirmasikan pada saya bahwa segala sesuatu baik-baik saja. 

Pada tulisan sebelumnya saya sempat menyinggung soal perjumpaan saya dengan hati saya. Nah, pikiran saya langsung melayang pada gadis kecil yang saya jumpai dalam hati saya, namun saya tidak menemukannya. Sepintas lalu saya melihat dalam pandangan perifer saya seorang wanita, seseorang yang keibuan. Dan dia memeluk saya dengan kata-katanya bahwa segala sesuatu baik-baik saja. Sepertinya saya masih mengumpulkan puzzle nih. Puzzle misteri tentang dua sosok itu. Saya tidak terburu-buru untuk mengumpukan keping demi keping, karena Dia tau yang terbaik bagi seluruh ciptaanNya. Saya menunggu.

Pikiran saya juga melayang pada ingatan tentang asap berwarna pink ini. Beberapa hari sebelumnya saya sering menjumpai asap berwarna pink ini dalam 'keheningan' saya. Warna pink yang menyelimuti diri saya. Saat saya meminta petunjuk pada guru, beliau hanya mengatakan bahwa saya punya bakat. Tapi saya masih bingung apa bakat yang dimaksudkan. Sampai saat ini saya masih belum mengerti bakat yang guru saya bicarakan. Hari ini saya kembali meminta petunjuk mengenai warna pink itu. Alhamdulillah, saya mendapat jawaban. Guru bilang untuk melanjutkan, dan bahwa warna pink adalah warna Cinta. So, seems like I'm on the right track. Track I do not know where it would lead me to. I am waiting in awe, waiting nearly anxiously of what more to come. Hopefully this is the beginning of something good.

Inti dari perjalanan ini adalah menunggu.. Menunggu sambil berserah, menyerahkan segalanya pada Dia Yang Maha Tahu.

Friday, March 2, 2012

Makan-makan

Hari ini Kania genap berumur 5 bulan 30 hari, dan itu artinya ia sudah bisa diberi makanan pendamping ASI. Horeeee..! Makan-makan. Sebagai seorang ibu muda dengan anak yang baru 1 orang, saya merasa deg-degan dengan peristiwa besar ini. Rasanya campur aduk menggetarkan. Rasa seru, khawatir, dan girang jadi gado-gado perasaan buat saya. 
  • Rasa seru karena sudah lama menantikan momen ini karena kasihan melihat Kania yang acap kali mengecap dan marah ketika orang-orang di sekitarnya pada makan. 
  • Khawatir akan BAB yang keras dan karena that's what moms do! Ha! 
  • Girang karena saya, suami, dan Kania bersama-sama berhasil lulus S1 ASI. Perjuangan yang cukup berat dan panjang, mengingat kami sempat memberi susu formula bayi pada 3-5 minggu pertama kelahiran buah hati kami. Tidak berhenti di situ orang tua kami seringkali menyarankan untuk memberi MPASI sebelum 6 bulan, dengan alasan kasihan karena Kania terkadang rewel, dan asumsi mereka adalah bayi kami tidak kenyang. That's that, we stood up for our child based on what we think is the best for Kania's interest (after a bit of research of course)
Dan, datanglah saatnya kini kami bisa berbahagia memberi suapan pertama makanan padat pada Kania. Saya dan suami memutuskan untuk memberinya tepung gasol dahulu, baru kemudian memperkenalkan puree buah-buahan. Saya sendiri sempat bingung akan memperkenalkan yang mana dulu, karena sepertinya ada dua mahzab per-MPASI-an, yang satu tepung gasol dulu, yang satu lagi puree buah-buahan dulu. Mungkin hanya masalah selera saja yaa, maka kami memutuskan untuk mengikuti mahzab yang pertama. Wish us luck! ;)

"Kania mau ini Bunda!"

Makan-makan pertama Kania secara resmi sudah terlaksana, dan cukup berhasil. Dia mau makan sekitar 10-12 sendok tepung gasol cair sekali. Horeee! Untuk urusan makan ini, sang papa minta secara baik-baik pada saya untuk diberi kesempatan menyuapi paling ga sendokan pertama. Alasannya toh nanti yang akan sering menyuapi bundanya ato utinya. Suami saya memang sangat terlibat dalam pengasuhan Kania sejak ia masih bayi merah. Mas akan dengan senang hati membersihkan ompolnya, bahkan pupnya. Beberapa kali ia juga minta kesempatan untuk memandikan Kania, sampai dengan memakaikan bajunya. Suami dan bapak sempurna! ^.^ Dan makan pertama Kania pun tidak ingin dilewatkannya, dengan memberi 6-7 suapan pertama. And she loved it! Beberapa kali terlihat mengernyit aneh, tapi setelah itu lantas terkekeh-kekeh sendiri. Sungguh pengalaman yang menyenangkan. Waiting for the next moment I can spoon feed her karena setelah ini pasti utinya sudah mengharapkan gilirannya.

"More, papa. More!"

Monday, February 27, 2012

Kado Untukmu

Beberapa waktu lalu saya sempat jalan-jalan sekilas di blog Dee Lestari. Menelusuri judul demi judul tulisan yang pernah di-posting olehnya. Dan saya tertarik pada posting yang ada foto hitam-putih seorang perempuan berambut panjang yang saya tebak adalah ibunya. Ternyata benar, perempuan di foto itu adalah mendiang ibu Dee Lestari. Yang menarik dari post tersebut adalah saat dia berkata dia belum sempat mengenal sosok ibunya, pun sebaliknya; mungkin ibunya belum sempat mengenal anaknya juga. As a person. Sebagai seorang pribadi. Dalam kehidupan sehari-hari kita seringkali terjebak dalam peran-peran yang lekat dengan kita, yang mau tidak mau harus kita mainkan. Misalnya saya, saya adalah seorang anak, saudara perempuan, istri, dan ibu. Saya adalah teman untuk teman-teman saya, mahasiswa bagi dosen saya. The list goes on. Begitu pintarnya kita bermain dalam peran-peran tersebut, sehingga terkadang kita lupa untuk kembali mencerna pribadi kita sendiri. Boro-boro mengambil waktu untuk berkenalan dengan pribadi lain di sekitar kita. Begitu kira-kira sepintas awal tulisan Dee dalam blognya.

Apa yang dikatakannya memang benar, setidaknya untuk saya. I can relate to what she said about her relationship with her late mother. Pikiran saya kemudian mengambil langkah untuk menyusuri labirin memori dalam otak saya dan mengevaluasi hubungan-hubungan yang saya punya dengan orang-orang di sekitar saya. My mind went: sepertinya pola hubunganku dengan sebagian besar orang dalam keluarga terbelenggu oleh peran-peran yang kami mainkan. Jarang sekali kami berbicara dari hati ke hati, yang ada hanyalah penyampaian ekspektasi dari si A ke si B, dan penerimaan ekspektasi oleh B tanpa adanya komunikasi timbal balik untuk kebaikan keduanya (terutama si B). Lalu saya berpikir lagi, mengamati dan mencari dalam gudang memori saya tentang betapa banyaknya keinginan dan harapan saya yang tidak sempat saya perjuangkan karena saya terlalu baik berperan sebagai anak. Dan semaraklah peperangan dalam batin saya karena saya terpenjara, ingin bebas, namun tidak punya keberanian untuk melakukannya*eh saya kok jadi curcol*. Intinya saya merasa belum dihadiahi dan belum bisa menghadiahi keluarga saya dengan sebuah ketelanjangan.


Ya, kata yang berkonotasi vulgar memang. Tapi, mengutip guru saya “hadiah terbaik yang bisa kita berikan pada orang lain adalah ketelanjangan”. Telanjang. Menjadi telanjang. Ada dua arti yang melekat pada kata tersebut, arti harafiah dan kiasan. Menurut saya makna kiasan dari menjadi telanjang berarti dengan berani membeberkan pada dunia diri kita yang sebenarnya. Tanpa pretensi. Ga ada lagi jaim. Namun bagaimana lagi, hal itu adalah tabu dalam masyarakat kita. Seolah kita tidak baik dengan apa adanya diri kita. Lucunya lagi, kita seringkali merasa berkewajiban untuk memenuhi harapan yang mereka jangkarkan pada kita. Padahal mungkin aja harapan itu ga masuk akal atau ga cocok dengan kita. Contohnya adalah anggapan jamak bahwa hidup yang “sempurna” adalah lulus kuliah cepet, dapet kerja bagus di perusahaan top dengan gaji selangit, lalu menikah. Kalau sudah begitu tercapailah sudah cita-cita bangsa. Padahal menurut saya tiga rangkaian itu terdengar membosankan. Tidak saya pungkiri, dulu saya lulus kuliah cepet dan saat ini kepengen dapet kerjaan yang hasilnya selangit. I mean siapa sih yang ga mau berpenghasilan selangit?! Tapi bagi saya itu bukan tujuan. Itu hanyalah bagian dari cerita perjalanan hidup saya. Kalau memungkinkan, keluarga yang saya bina dan uang yang Tuhan beri melalui pekerjaan bisa dijadikan teman seperjalanan dan alat untuk menemukan tujuan akhir hidup saya. Yak, benar! Saya masih bingung tujuan akhir saya. The road is still under construction. Curcol lagi. Tapi begitulah kira-kira yang saya inginkan, berproses bersama orang-orang yang saya cintai dan menggunakan rejeki materiil yang telah diamanahkan pada saya untuk menemukan dan menggapai tujuan itu. Namun sayangnya, saya masih belum bisa all out menjadi telanjang tentang ini dengan keluarga saya; mainly because kita ga sealiran. Untung nemu suami yang sealiran, jadi lebih ringanlah jalanku karena “baju” yang kupakai dapat kutanggalkan saat bersamanya. Betapa saya ingin menghadiahi ketelanjangan pada mama, abi, dan adik-adik saya. Supaya mereka pun menghadiahi saya hal yang sama. Jadi kami benar-benar saling mengenal sebagai pribadi, bukan sebagai anak, orang tua, atau saudara.

Begitulah sekelumit tentang harapan, tujuan, dan ketelanjangan. Sudahkah anda telanjang? Siapa yang ingin anda hadiahi ketelanjangan anda? Karena “hadiah paling baik yang dapat kita berikan pada orang lain adalah ketelanjangan”.